Negara Maju Biasakan Lagi Teks Cetak dan Tulis Tangan bagi Siswa
Di tengah laju perubahan digital, sejumlah negara maju di Eropa justru memutuskan melambat. Mereka kembali memperkuat pembelajaran berbasis rujukan ke buku dan teks cetak, serta membiasakan murid menulis tangan. Justru metode yang oleh sebagian masyarakat global dianggap jadul inilah yang mampu membekali manusia modern kemampuan literasi yang kuat.
Kementerian Pendidikan Swedia mengumumkan menghentikan pemakaian gawai elektronik di dalam pembelajaran untuk siswa berusia enam tahun ke bawah mulai tahun ajaran 2023-2024. Mereka mengeluarkan peraturan agar murid-murid di pendidikan anak usia dini (PAUD) diajak sering memanfaatkan perpustakaan, bertanya langsung kepada para guru, serta belajar menulis dengan memperbanyak latihan motorik halus dan kasar secara menyenangkan.
”Kami terbuai konsep pengenalan digitalisasi secara dini. Sekarang, sudah jelas dari kajian selama ini bahwa pengenalan digitalisasi kepada anak-anak harus dilakukan secara terukur,” kata Menteri Pendidikan Swedia Lotta Edholm.
Swedia selama ini telah mengakrabkan murid-murid PAUD dengan gawai elektronik, terutama sabak elektronik. Mereka terbiasa bermain gim pendidikan dengan gawai. Di tingkat lebih atas, murid-murid sekolah terbiasa menggunakan internet di dalam menyelesaikan tugas sekolah. Mereka bekerja secara independen berselancar di berbagai situs guna mengumpulkan informasi yang relevan dengan tugas.
Memang, secara tataran global, Swedia tetap bertengger di peringkat atas di dalam literasi masyarakatnya. Akan tetapi, pantauan Kementerian Pendidikan melihat tren kemerosotan nilai literasi sepanjang periode 2016-2021. Intinya, kemampuan literasi generasi muda Swedia, terutama Generasi Z, tidak secakap generasi sebelumnya.
Institut Karolinska menjelaskan hasil kajian mereka, yaitu langsung terjun ke dunia digital untuk mencari informasi ternyata susah dalam memastikan keakuratan konten yang diakses. Menurut mereka, mendidik anak-anak mengenal informasi akurat tetap harus dari buku ataupun teks-teks cetak lainnya. Di sini, murid belajar mengenai pentingnya mengenal informasi yang sudah diverifikasi dan dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Menurut Institut Karolinska, mendidik anak-anak mengenal informasi akurat tetap harus dari buku ataupun teks-teks cetak lainnya.
”Murid diajak aktif bertanya kepada guru untuk mengajarkan mengenai individu atau kelompok yang bisa dijadikan sebagai narasumber,” demikian paparan Institut Karolinska.
Baru setelah terbiasa membaca, memilih, dan memilah informasi dari teks cetak serta bertanya kepada guru, murid-murid belajar menerapkannya di dunia digital. Ini memberi mereka landasan yang kuat dalam memastikan informasi digital yang mereka akses terverifikasi dan tidak gampang dipengaruhi oleh orang-orang terkenal di internet, misalnya para pendengung (buzzer).
Jerman telah lebih dulu menerapkan pembelajaran analog di PAUD meskipun sejumlah pegiat dan praktisi pendidikan di negara itu mengimbau negara bahwa sudah saatnya digitalisasi digenjot di PAUD. Mereka berbicara demikian karena Jerman sudah memiliki fondasi kuat di pembelajaran literasi dasar.
Dampak buruk gawai
Telah banyak penelitian mengenai pentingnya pembelajaran membaca dan menulis secara analog di anak-anak usia dini. Peneliti ilmu psikologi dan otak Universitas Indiana, Amerika Serikat, Karin James, menulis makalah yang terbit di jurnal Association of Psychological Science edisi 2017.
Ia menjelaskan, memakai gawai, meskipun menyenangkan, sebenarnya memiskinkan anak dari latihan motorik. Selain itu, radiasi gawai buruk bagi mata dan membuat anak tidak mengembangkan kemampuan berkonsentrasi dalam waktu lama. Menulis, dalam artian bukan latihan menulis konvensional, membantu perkembangan saraf motorik serta melatih anak mengonsep.
Anak harus membayangkan suatu bentuk di benaknya yang kemudian ia tuangkan melalui torehan tangannya. ”Lebih banyak bagian otak yang bekerja ketika anak membaca dan membolak-balik buku serta belajar menggambar dan menulis sambil bermain dibandingkan melakukannya dengan gawai,” papar James.
Di jurnal yang sama pada 2014, Pam Mueller dari Universitas Princeton dan Daniel Oppenheimer dari Universitas California Los Angeles menerbitkan makalah berjudulThe Pen Is Mightier Than the Keyboard. Mereka meneliti para mahasiswa di Princeton, yaitu yang terbiasa mengetik dengan komputer pangku selama mendengar kuliah dan kelompok yang terbiasa mencatat dengan tangan.
Hasilnya ialah kelompok yang mencatat secara manual memiliki pemahaman lebih mengenai materi kuliah dibandingkan dengan yang mengetik di komputer.
Hal ini karena setiap orang memiliki cara tersendiri menyerap informasi. Misalnya, ada yang mencatat dengan tertib, seperti notulensi, ada yang menyingkat seperti stenografi, dan ada pula yang lebih mementingkan pemetaan persoalan.
Cara pemahaman yang individualistis itu membuat mahasiswa yang menulis tangan mampu mengurai informasi secara lebih mendalam. Mereka mengonsep di otak sebelum dituangkan ke gerakan tangan dan pena.
Berbeda dengan yang mengetik dengan komputer. Semua mahasiswa yang diteliti ini mengetik transkrip atau kata per kata. Memang, mengetik berarti mahasiswa bisa cepat merekam omongan dosen. Akan tetapi, mereka minim mengonsep karena mereka tinggal memencet papan ketik. (AP)**